Membangun masa depan anak berkebutuhan khusus

Sahabat perempuan dan anak, tahukah anda jika Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) masuk dalam 15 kelompok anak yang rentan mengalami kekerasan? Bentuk-bentuk kekerasan yang rentan dialami pun sangat beragam, seperti kekerasan fisik, psikis, hingga hambatan-hambatan sosial seperti pelabelan negatif dan diskriminasi. Sayangnya, diskriminasi terhadap ABK telah berlangsung sejak lama. Namun mengapa hal ini masih saja terjadi? Persoalannya adalah, selama ini lingkungan di sekitar ABK masih belum ramah terhadap mereka. Apa itu lingkungan yang ramah Anak Berkebutuhan Khusus? Lingkungan yang ramah ABK merupakan lingkungan di mana semua anak memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang secara wajar, dan dapat mengembangkan semua potensi yang dimilikinya seoptimal mungkin di dalam lingkungan yang nyaman dan terbuka. Menjadi “ramah” apabila keterlibatan dan partisipasi semua pihak dalam pemenuhan hak-hak anak berkebutuhan khusus tercipta secara alami dengan baik. Namun, kondisi lingkungan yang ramah terhadap ABK di Indonesia masih belum terwujud secara massif, hal ini salah satunya disebabkan oleh bentuk penanganan terhadap ABK yang justru tidak menggunakan perspektif ABK itu sendiri, contohnya seperti penanganan berbasis karitas yang cenderung justru melanggengkan pelabelan negatif dan hambatan sosial pada ABK. Sekarang, mari kita coba membuka cara pandang untuk menciptakan pola asuh dan interaksi yang ramah terhadap Anak Berkebutuhan Khusus, dengan membaca lebih lanjut artikel ini.

Anak berkebutuhan khusus (ABK), adalah anak yang mengalami keterbatasan keluarbiasaaan baik fisik, mental-intelektual, sosial, maupun emosional yang berpengaruh signifikan dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya, seperti yang termuat dalam Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Nomor 10 tahun 2011 tentang Kebijakan Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus, yang terdiri dari 12 kategori yaitu: anak tunanetra, anak tunarungu, anak tunagrahita, anak tunadaksa, anak tunalaras, anak dengan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas, anak dengan gangguan spectrum autism, anak tunaganda, anak lamban belajar (slow learner), anak dengan kesulitan belajar khusus, anak dengan gangguan komunikasi, dan anak dengan potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa.

Salah satu kisah dituturkan oleh seorang Ibu di Jakarta yang menceritakan pengalamannya memiliki ABK tunanetra. Respon pertama yang dirasakan ketika mengetahui anaknya terlahir dengan kondisi berbeda adalah sedih dan menangis berlarut-larut, saling menuduh dan menganggap keadaan anaknya sebagai suatu kutukan, hingga menyalahkan diri sendiri dan orang lain dalam waktu yang cukup lama. Ketidakterimaan orangtua terhadap kondisi anak yang tidak dapat melihat, nyatanya membawa mereka pada fase pengabaian anak itu sendiri sehingga anak jadi terabaikan. Dimana pada usia itu, anak berkebutuhan khusus justru sedang membutuhkan sosok orang yang dapat dipercaya dan memberikan pengasuhan yang layak dan baik. Namun, setelah mendapat pengertian dari orangtuanya, sang Ibu akhirnya menerima kondisi anaknya, dan bertekad untuk membesarkannya dengan cinta dan kasih serta mendukung potensi yang dimiliki anaknya. Hasilnya mengesankan, anak tersebut saat ini tengah menginjak usia remaja, tumbuh dengan bahagia bahkan telah mengukir berbagai prestasi hingga tingkat Nasional.

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa di Indonesia, tidak dapat dipungkiri jika masih banyak masyarakat yang berpandangan negatif terhadap kehadiran anak berkebutuhan khusus, bahkan masih ada penolakan dengan kehadirannya. Tidak hanya penolakan dari masyarakat dan lingkungan sekitar, penolakan bahkan justru berasal dari lingkungan paling dekat dengan anak, yakni keluarga dan orangtua. Namun, dari penuturan orangtua ABK tersebut juga memunculkan fakta bahwa bentuk penangan paling tepat terhadap ABK justru datang dari tingkatan paling kecil yakni orangtua dan keluarga. Penerimaan orangtua akan kehadiran ABK dalam keluarga menjadi poin utama dan mendasar bagi ABK dapat tumbuh dan berkembang secara baik. Hal ini juga berkorelasi positif dengan motivasi dan penerimaan diri oleh ABK itu sendiri. Penerimaan terhadap ABK, akan memunculkan pola asuh dengan cinta dan kasih oleh orangtua sehingga anak tidak dianggap sebagai beban bagi orangtua. Disamping tentu saja, sudah menjadi hak ABK untuk tumbuh kembang, berpartisipasi dan mendapatkan perlindungan dari lingkungan sama seperti anak-anak lainnya.

Terkait dengan hal tersebut, maka pemahaman tentang keberadaan anak berkebutuhan khusus terhadap masyarakat, dan utamanya orangtua dan keluarga perlu ditingkatkan, guna mendukung terciptanya lingkungan yang ramah ABK. Asisten Deputi Perlindungan anak Bidang Anak Berkebutuhan Khusus, Indra Gunawan, menyebutkan terdapat beberapa langkah-langkah guna menuju lingkungan yang ramah terhadap ABK, diantaranya. Pertama, masyarakat memahami apa itu ABK. Kedua, masyarakat tidak menggunakan istilah-istilah yang menyinggung atau bahkan merendahkan. Ketiga, masyarakat menyediakan sarana dan prasaran yang dapat diakses bagi ABK. Keempat, ABK diberdayakan melalui rehabilitasi seperti kesehatan, pendidikan, mata pencaharian, dan sosial.

Pendekatan yang utama dan terpenting dalam menjamin pemenuhan hak ABK dimulai dari tangan orangtua dan keluarga. Lingkungan keluarga diharapkan hadir sebagai benteng pertama membangun kemandirian Anak Berkebutuhan Khusus, sehingga memberikan ruang bagi mereka untuk dapat membangun kepercayaan diri dan mengembangkan potensi yang dimilikinya serta membangun mental ABK yang tangguh dan siap berpartisipasi dalam lingkungan masyarakat. Membangun masa depan Anak Berkebutuhan Khusus, dimulai dari keluarga.(ach)

Sumber Artikel: [https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/31/1621/membangun-masa-depan-anak-berkebutuhan-khusus]